SMARTTALENTMALAYSIA.COM – Jepang menghadapi persoalan serius terkait kesehatan mental, terbukti dari tingginya kasus bunuh diri yang terjadi di negara tersebut. Kondisi ini menginspirasi banyak sineas untuk mengangkat topik kesehatan mental sebagai tema utama dalam karya-karya mereka, dengan tujuan menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan mental dan menghargai diri sendiri.
Ingin tahu film-film Jepang apa saja yang membahas isu ini? Berikut adalah 4 film yang dapat membuka pandanganmu tentang kesehatan mental.
1. Orphan’s Blues
Film ini bercerita tentang Emma, seorang wanita muda yang mengalami kehilangan ingatan yang tidak terdiagnosis. Ia hidup dalam dunia dengan nuansa musim panas abadi, mengandalkan catatan kecil untuk mengingat hal-hal sederhana dalam hidup. Dinding kamarnya bahkan dipenuhi oleh lembaran-lembaran catatan tersebut.
Suatu hari, Emma menerima gambar seekor gajah dari seorang teman lama bernama Yang, yang dikenalnya di panti asuhan, namun telah lama hilang kontak. Berbekal cap pos pada surat itu, Emma memulai perjalanan untuk mencari Yang. Dalam perjalanan ini, ia bertemu kembali dengan dua teman masa kecilnya, Ban dan pacar Ban, Yuri. Trio ini kemudian bergabung untuk menemukan Yang bersama-sama.
Namun perjalanan mereka menjadi semakin kompleks akibat kondisi ingatan Emma yang terus memburuk. Kenangan masa lalunya perlahan memudar seiring perjalanan waktu, meninggalkan jejak samar yang menggambarkan betapa rapuhnya memori manusia.
Film ini menghadirkan alur cerita yang tidak linear dan sering kali abstrak. Orphan’s Blues mengeksplorasi hubungan antara memori, realitas, dan identitas melalui sinematografi yang puitis dan elemen surealis. Latar pedesaan Jepang yang indah sering kali diberi sentuhan visual tak biasa lewat tata seni, syuting kamera, dan musik.
Yang sendiri bahkan tak pernah muncul secara langsung di film ini, namun keberadaannya menjadi misteri yang mendorong para karakter menuju refleksi diri yang mendalam. Orphan’s Blues menawarkan ruang interpretasi bebas bagi penonton untuk merenung tentang dampak pergeseran kenangan dan pencarian makna hidup di tengah keterbatasan ingatan.
2. 12 Suicidal Teens
Film ini menceritakan kisah 12 remaja yang berkumpul di sebuah rumah sakit tua yang sudah lama tak terpakai dengan tujuan melakukan bunuh diri massal. Masing-masing dari mereka membawa alasan personal atas keinginan untuk mengakhiri hidup.
Namun, rencana mereka berubah drastis ketika mereka menemukan tubuh seorang laki-laki tak dikenal yang sudah tewas di ruangan tempat mereka berkumpul. Penemuan ini memicu kebingungan, pertanyaan, dan kecurigaan di antara mereka.
Alih-alih langsung melanjutkan niat mereka, kedua belas remaja tersebut sepakat untuk menyelidiki siapa laki-laki itu dan apakah ia mati karena bunuh diri atau dibunuh. Proses mencari tahu kebenaran membuat mereka mulai membuka diri satu sama lain.
Satu per satu alasan mereka ingin mengakhiri hidup pun terungkap selama interaksi ini. Mereka berbagi pengalaman-pengalaman pedih yang mendorong keputusan nekat tersebut. Melalui dinamika kelompok yang intens dan penuh intrik, mereka mulai meragukan kembali keputusan hidup mereka masing-masing.
Film ini menyuguhkan kombinasi drama misteri dan refleksi diri. Dengan mengupas lapisan-lapisan emosi para karakternya, 12 Suicidal Teens mengajak penonton untuk merenungi kompleksitas pikiran manusia sekaligus menyuguhkan harapan di tengah gelapnya perjuangan psikologis mereka.
3. Mental
Film *Mental* menggambarkan kehidupan sehari-hari di Klinik Chorale Okayama, sebuah klinik kesehatan mental rawat jalan di Jepang yang dikelola oleh Dr. Yamamoto Masatomo.
Film ini mencoba mengungkap tabu yang masih sangat kuat di kalangan masyarakat Jepang, dan juga masyarakat lainnya, terkait isu penyakit mental.
Melalui gambar-gambar yang jujur dan tak disensor, film ini menghadirkan beragam sisi dari kehidupan individu-individu yang menghadapi tantangan mental, termasuk kecenderungan bunuh diri, kemiskinan, rasa malu, serta ketakutan akan stigma sosial.
Film ini bukanlah semata-mata pengantar jawaban atas masalah tersebut, melainkan sebuah seruan bagi penonton untuk menumbuhkan empati dan pemahaman. Dengan menggambarkan hubungan dinamis antara pasien, dokter, dan staf, *Mental* menunjukkan bahwa di tengah penderitaan, ada kekuatan bertahan hidup dan keindahan dalam kemanusiaan mereka.
Sering kali dianggap sebagai deklarasi cinta yang tidak biasa terhadap rahasia masyarakat Jepang yang sopan dan humanis, film ini memberikan pandangan mendalam tentang hubungan antara budaya, kesehatan mental, dan kemanusiaan.
4. Kotoko
Film ini mengisahkan perjalanan seorang ibu muda tunggal bernama Kotoko yang berjuang merawat putranya yang masih bayi, Daijiro, sambil hidup dengan gangguan mental parah yang membuatnya mengalami halusinasi dan penglihatan ganda.
Kondisi ini membuatnya melihat dua versi dari setiap orang yang ditemuinya: satu versi adalah sosok nyata, sedangkan versi lainnya adalah imajinasi menyeramkan dan penuh ancaman.
Ketidakmampuannya membedakan antara kenyataan dan khayalan menjadikan hidupnya penuh ketegangan dan rasa takut. Dia terus merasa terancam oleh dunia luar, terutama terkait ancaman terhadap keselamatan anaknya.
Kotoko sering melukai dirinya sendiri sebagai upaya untuk merasa “hidup” di tengah kekacauan mentalnya atau untuk meredakan kecemasan yang melumpuhkan. Menariknya, satu-satunya hal yang dapat menenangkan pikirannya adalah saat dia bernyanyi.
Namun, perilakunya yang semakin tidak menentu menyebabkan banyak kesalahpahaman dengan lingkungannya. Setelah beberapa insiden tertentu, putranya akhirnya diambil alih oleh Child Protective Services dan diasuh oleh saudara perempuannya.
Film ini menyajikan perjalanan pahit Kotoko dalam menghadapi penyakit mentalnya, isolasi yang mendalam, dan perjuangan untuk memulihkan hak asuh atas anaknya. Meskipun dia mencoba membangun hubungan baru dengan seorang novelis, kondisi mentalnya memburuk hingga menggoyahkan batas antara realitas dan delusi.
*Kotoko* adalah eksplorasi dramatis dan intens tentang gangguan mental, khususnya psikosis, dari sudut pandang sang penderita.
Dengan visualisasi dan elemen audio yang kuat, film ini memberikan pengalaman menonton yang immersif namun juga menantang. Penonton diajak menyelami dunia dari sudut pandang Kotoko yang terdistorsi—pengalaman yang bisa terasa sangat tidak nyaman tetapi begitu menggugah.
Itulah empat film Jepang yang akan membuka perspektif baru tentang kesehatan mental. Bagaimana pendapatmu?
Baca Juga : Sinopsis Connection, Kala Ji Sung Jadi Detektif dalam Kasus Penuh Misteri