Banner Image

Top Cinema

smarttalentmalaysia.com

Top Cinema : Kabut Berduri – Borderless Fog Sebuah Cerita Noir Kontemporer

Top Cinema : Kabut Berduri – Borderless Fog Sebuah Cerita Noir Kontemporer

SMARTTALENTMALAYSIA.COM – Di balik suasana modern yang melingkupi, tersimpan misteri mengenai pembunuhan dan kematian. Sebuah jalinan antara Indonesia dan Malaysia, antara dunia nyata dan dunia yang tak kasat mata, terjalin antara Polisi dan Tukang Jagal, anak Jakarta dan Suku Dayak. Dalam perang tak berujung antara berburu dan diburu, keadilan dan dendam, moral dan amoral, pistol dan belati, peluru dan wanita, semua ini membentuk kisah “Kabut Berduri”.

Alur Cerita

Kisah ini mengisahkan perjalanan Ipda Sanja Arunika (Putri Marino) yang ditempatkan di perbatasan Indonesia – Malaysia di Pulau Borneo, sebuah wilayah yang dihuni oleh Suku Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Setelah sebelumnya bertugas di Jakarta, Sanja menerima mutasi ke Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat (Polda Kalbar), sebuah daerah yang terletak di tengah Pulau Borneo dan berbatasan langsung dengan Malaysia. Sanja, seorang Polwan yang sangat berani dan bersemangat memecahkan teka-teki, tak mengenal lelah saat dihadapkan pada kasus kriminal yang mengancam ketentraman masyarakat. Tekadnya bukan hanya untuk menegakkan keadilan, tetapi juga untuk membebaskan diri dari bayang-bayang koneksi istimewa yang dimiliki oleh ayahnya serta berusaha mencari penebusan.

Pada hari pertama kedatangannya, Sanja sudah disuguhi dengan kasus misterius yang melibatkan institusi Tentara Nasional Indonesia. Ditemukan mayat yang kepala dan tubuhnya berasal dari dua orang berbeda, namun dalam keadaan menyatu. Korban pertama adalah seorang sersan bernama Thoriq, yang bertugas melakukan patroli di perbatasan, dan yang kedua adalah seorang aktivis Dayak terkenal, Apay Juwing. Yang membuat kasus ini semakin rumit adalah kecenderungan Polri untuk saling lempar kasus dengan Kepolisian Diraja Malaysia (PDRM).

Tempat kejadian perkara berada di kawasan tanpa manusia, di antara batas Indonesia dan Malaysia. Korupsi dalam institusi kepolisian membuat masyarakat Sanggau lebih memilih untuk percaya pada bisikan roh penjaga hutan atau sosok hantu komunis Paraku bernama Ambong, yang mereka anggap sebagai pelindung setia.

Karena kebiasaan Polisi dan TNI yang sering mengabaikan laporan mengenai hilangnya anggota suku Dayak dan hanya bekerja saat kasusnya viral, banyak orang di Sanggau yang terjerat dalam organisasi ekstrem yang dipimpin oleh Panglima Tajau.

Dari sini, kita dipaksa melihat kenyataan bahwa Kalimantan, meski kaya akan sumber daya alam, tidak menjamin kebahagiaan bagi warganya. Semiotika ini ditampilkan dengan brilian oleh Edwin, sementara Netflix berhasil memanfaatkan bakat luar biasa sutradara dalam menggambarkan kekacauan di Borneo.

Begitu adegan dimulai, suasana kesepian dan keterasingan langsung terasa menyerap. Kegelapan Kalimantan, rasa kefanaan bagi penghuninya, serta rapuhnya kehidupan manusia di desa yang hancur akibat sawit dan pabrik ilegal, begitu mencolok.

Dalam misinya, Ipda Sanja ditemani oleh Bripka Thomas (Yoga Pratama), seorang pemuda Suku Dayak yang memiliki tujuan mulia untuk berkontribusi di kepolisian dan berharap bisa merubah sistem dari dalam. Seperti polisi lainnya, mereka memiliki jaringan di masyarakat sipil, yang dapat membantu mereka saat mencari informasi.

Salah satu mitra yang mereka andalkan adalah Pak Bujang (Yudi Ahmad Tajudin), seorang petugas keamanan masyarakat yang melakukan patroli di pinggiran hutan sawit. Ketiga karakter ini akan menjadi kunci untuk mengungkap misteri mayat tanpa kepala di Sanggau.

Film “Kabut Berduri” dengan cermat menyoroti isu serius mengenai perdagangan manusia atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), menjadikannya narasi yang menggugah dan penuh perhatian.
Ketika kita melakukan penelitian, terlihat jelas bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kalimantan Barat, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, sering terjadi. Wilayah ini rentan terhadap lalu lintas warga antar negara.

Salah satu nilai tambah yang ditawarkan oleh film ini adalah penjelasan mendalam mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai kejahatan serius yang melanggar hak asasi manusia. TPPO mencakup serangkaian proses, mulai dari perekrutan, transportasi, transfer, penampungan, hingga penerimaan individu, yang dilakukan dengan ancaman atau paksaan untuk tujuan eksploitasi.

Film “Kabut Berduri” juga mengeksplorasi faktor-faktor pendorong terjadinya TPPO, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan diskriminasi. Selain itu, juga disoroti faktor penarik seperti peluang kerja dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Hal ini ditampilkan melalui karakter Ayah Arum, yang rela menjual anaknya sendiri. Tanpa film ini, mungkin banyak orang Indonesia yang tidak menyadari bahwa nasib anak-anak di bawah umur menjadi sasaran perdagangan, terutama di daerah perbatasan.

Kemenangan terbesar dari film ini terletak pada kemampuan sutradara serta para aktris dan aktornya untuk mensinergikan setiap aspek yang ada, menciptakan “Kabut Berduri” sebagai karya seni yang langka dan istimewa di Indonesia.

Karakter Sanja, misalnya, dirancang dengan sangat mendalam. Dia bukanlah sosok utama yang sempurna; sebagai seorang polisi, Sanja memiliki masa lalu kelam karena pernah mengambil nyawa anak kecil. Dia terus melarikan diri dari dosanya, tanpa pernah menghadapi hukuman dari negara. Sanja juga tampak naif, melihat Kalimantan, yang terbagi menjadi dua negara, seolah masih berada di Jakarta.

Rekan kerja Sanja, Bripka Thomas, merupakan polisi baik hati, namun kurang aktif dalam bertindak meskipun dia tahu tentang bisnis gelap yang dilakukan atasannya, Ipda Panca Nugraha (Lukman Sardi).

Selain itu, ada juga karakter Pak Bujang, seorang masyarakat sipil yang berubah menjadi karakter antihero karena kebosanan terhadap institusi negara yang korup. Karakter-karakter utama dalam film ini terasa sangat manusiawi, sehingga penonton dapat merasakan simpati yang mendalam terhadap mereka.

Sebagai kesimpulan, “Kabut Berduri” hadir untuk menyadarkan kita bahwa meskipun ceritanya fiktif, sumber idenya berasal dari kolektif trauma dan kesedihan masyarakat adat yang tidak mampu melawan penindasan dan kemiskinan yang nyata. Kritik yang tajam terhadap institusi kepolisian dan TNI merupakan cerminan dari kenyataan yang ada di sekitar kita, di mana masih banyak oknum yang seharusnya menjadi pilar masyarakat, namun justru berperan sebagai penindas rakyat.

Baca Juga : Top Cinema “Squid Game season 2” akan tayang pada bulan Desember

Share: Facebook Twitter Linkedin
Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *