Top Cinema: Mufasa: The Lion King – Awal Retaknya Persaudaraan Tak Sedarah
SMARTTALENTMALAYSIA.COM – Simba (Donald Glover) kini duduk di singgasana sebagai raja di Pride Lands dan tengah menantikan kelahiran anak keduanya bersama Nala (Beyoncé). Dalam momen bahagia ini, ia harus meninggalkan putri sulungnya, Kiara (Blue Ivy Carter), di bawah pengawasan dua sahabatnya, Pumbaa (Seth Rogen) dan Timon (Billy Eichner).
Namun, kehadiran kedua sahabat tersebut ternyata tidak cukup untuk menghilangkan rasa cemas Kiara. Ia terjebak dalam ketakutannya menghadapi badai yang melanda. Untungnya, Rafiki (John Kani) muncul, membawa serta sebuah kisah tentang sang kakek, Mufasa (Aaron Pierre), yang terpisah dari keluarganya dan berhadapan dengan Taka, yang kelak dikenal sebagai Scar (Kelvin Harrison Jr).
Sayangnya, Mufasa tidak disambut baik di sana dan dianggap sebagai makhluk liar. Perlahan, ia mendapatkan penerimaan, tetapi kedamaian itu terganggu oleh kehadiran kawanan singa putih yang dipimpin oleh Kiros (Mads Mikkelsen). Dalam kondisi terdesak, Mufasa dan Taka pun berusaha mencari tempat impian yang mereka sebut sebagai Milele.
Ulasan:
Sutradara Barry Jenkins, yang sebelumnya dikenal lewat *Moonlight*, berhasil membawa penonton ke dalam nuansa nostalgia sekaligus menghadirkan keindahan visual yang memukau dalam *The Lion King* (1994). Jenkins memperbaiki elemen-elemen yang terasa kurang pada remake *The Lion King* (2019) karya Jon Favreau, memberikan pencapaian teknis yang signifikan serta emosi yang lebih mendalam daripada pendahulunya.
Hewan-hewan dalam film ini, mulai dari gajah, jerapah, hingga burung, ditampilkan dengan begitu hidup dan tidak terlihat kaku seperti potongan plastik. Ekspresi wajah singa pun menunjukkan kealamian yang mendalam.
Meskipun kisah antara Mufasa dan Taka—dua bersaudara yang bertransformasi menjadi musuh—bukanlah cerita baru, Jenkins menambahkan cukup banyak lapisan dan liku-liku yang memperdalam rivalitas di antara mereka. Penonton bisa merasakan bagaimana keduanya yang semula saling menemukan, perlahan berubah menjadi musuh, dan terlihat jelas benih-benih permusuhan mulai tumbuh.
Naskah yang ditulis oleh Jeff Nathanson sepertinya berusaha setia pada jalan cerita film sebelumnya. Ia berulang kali menghadirkan adegan-adegan yang memperkuat motivasi tindakan karakter-karakternya di masa depan, seperti ketika Taka menyelamatkan Mufasa dengan cakarnya.
Sayangnya, pendekatan ini membuat penonton tidak merasakan hal baru. Alih-alih inovasi, kita disuguhkan nuansa nostalgia yang kuat, seperti asal-usul luka di wajah Scar, sejarah Pride Rock, dan pertarungan antara Mufasa dan Kiros.
Meski demikian, visual yang memukau sepenuhnya mengikat perhatian kita selama film berdurasi 118 menit ini. Landscape yang menakjubkan dan pengambilan gambar dari James Laxton membuat film ini berbeda dari film-film kontemporer Disney lainnya.
Ditambah lagi, lagu-lagu karya Lin-Manuel Miranda memberikan sentuhan yang mendalam tanpa mengganggu alur cerita. Salah satu yang begitu ikonik adalah lagu *Tell Me It’s You*, yang menggambarkan kisah cinta antara Mufasa dan Sarabi, sekaligus menampilkan sisi gelap Taka yang terbakar oleh cemburu dan menjadi awal dari kebenciannya terhadap saudaranya.
Secara keseluruhan, *Mufasa: The Lion King* adalah tontonan menarik yang bisa dinikmati bersama keluarga, mewariskan keindahan sihir Disney yang pernah kita rasakan di masa lalu.
Baca Juga : Top Cinema: Sinopsis “Red One” Petualangan Menyelamatkan Sinterklas